WiGa,-Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo mengatakan perguruan tinggi di Indonesia belum terlalu peka soal ancaman dan dampak korupsi.  “Meski kita tertatih, prestasi Indonesia dieradikasi korupsi ada. Indeks Persepsi Korupsi Indonesia jika dilihat di ASEAN awalnya paling rendah. Data 2016, angka Indonesia 3,7 berada di posisi tiga dan Malaysia justru ada di angka 4,7,” kata Ketua KPK.

Hal itu, menurut dia, merupakan gambaran bahwa hasil pemberantasan korupsi ada, tapi masih perlu keterlibatan semua pihak. Persoalannya, menurut dia, masih banyak yang melihat seolah korupsi itu hal biasa saja, padahal kelaparan di Papua salah satu cermin.
“Dana otonomi khusus begitu besar, larinya ke mana?,” kata Agus.
Gambaran pendidikan Indonesia dengan anggaran Rp400 triliun, tetapi masih ada ditemukan sekolah bobrok, terutama untuk sekolah dasar, ujarnya. Keadaan semacam itu, dinilainya, mengherankan. Apalagi, dikemukakannya pula, perguruan tinggi Indonesia di jajaran dunia peringkatnya pun masih kalah dari negara-negara lain.

Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia ada di urutan 15 besar dunia, sehingga dinyatakannya, menjadi salah satu alasan masuk Kelompok 20 Negara (Group 20/G20).
Kondisi tersebut, menurut Agus, seharusnya juga dibarengi perubahan tingkah laku, dan perlu kesadaran untuk betul-betul berubah karena untuk menjadi negara maju diperlukan mentalitas yang jauh dari korupsi. Jika dilihat, ia mengungkapkan, berapa perguruan tinggi negeri (PTN) yang sudah memasukkan tema korupsi? Ternyata, ia menyatakan, baru lima dengan yang menonjol melakukannya adalah Institut Teknologi Bandung (ITB). ITB menerapkan aturan bahwa mahasiswa dan dosen yang nyontek dalam berkarya akan diskors elama satu semester.
Adapun perguruan tinggi swasta (PTS) yang sudah memulai hal serupa, dinyatakannya, adalah Universitas Bina Nusantara (Binus), di mana mahasiswa yang menyontek akan dikeluarkan, sedangkan lulusan yang melakukan korupsi akan dicabut ijazahnya.
Oleh karena itu, Agus menilai terlihat bahwa perguruan tinggi belum peka untuk isu korupsi, terbukti pula sulitnya KPK untuk mendapat saksi ahli untuk kasus dugaan korupsi kartu tanda penduduk berbasis data base tunggal secara elektronik (KTP-el).

Fakultas-fakultas hukum seharusnya juga bisa membantu mendorong cepatnya aturan pemberantasan korupsi sektor swasta, ujarnya.  Dalam isu pengawasan korupsi, menurut dia, perguruan tinggi seharusnya juga bisa membantu pemerintah daerah (pemda) terkait soal anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).

Deputi Pencegahan KPK, dikemukakannya, mendampingi beberapa daerah dengan staf hanya sekitar 200 orang.  “Pasti tidak mampu mendampingi semua daerah dan instansi, di sini sebenarnya perguruan tinggi bisa membantu melakukannya. Jadi, bantu kami. Kenapa Universitas Cenderawasih tidak berperan dampingi pemdanya, agar layanan kesehatan lebih baik?” demikian Agus Rahardjo, yang turut prihatin atas musibah gizi buruk di Papua. (Antara News)