Dr. Fauzan Muttaqien, S.E., M.M *)
Hari Pendidikan Nasional (HARDIKNAS) pada tahun 2025 mengambil tema “Partisipasi Semesta Wujudkan Pendidikan Bermutu untuk Semua”. Hardiknas tahun 2025 memasuki usia ke-66 sejak ditetapkan sebagai hari besar nasional melalui Keputusan Presiden No. 316 Tahun 2019. Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) diperingati setiap tanggal 2 Mei untuk menghormati jasa Ki Hajar Dewantara tokoh pelopor Pendidikan Indonesia, Bapak Pendidikan Nasional yang lahir pada 2 Mei 1889. Pada tahun 1922, Ki Hajar Dewantara mendirikan lembaga pendidikan Taman Siswa yang membuka akses pendidikan bagi rakyat jelata. Filosofi pendidikan yang dibangun adalah semboyan “Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani”, yang mencerminkan pendekatan pendidikan holistik.
“Ing Ngarso Sung Tulodo” bermakna di depan memberi teladan. Pemimpin atau pendidik yang berada di garis depan harus menjadi contoh yang baik bagi yang dipimpinnya. Sikap, perilaku, dan tindakannya menjadi panutan bagi orang lain.”Ing Madya Mangun Karsa” bermakna di tengah membangun semangat atau kehendak. Saat berada di tengah-tengah masyarakat atau peserta didik, pemimpin harus mampu membangun semangat, mendorong partisipasi, dan menumbuhkan motivasi agar tercipta kolaborasi. “Tut Wuri Handayani” bermakna di belakang memberikan dorongan atau dukungan. Ketika berada di belakang, seorang pemimpin atau guru tetap berperan penting dengan memberikan dukungan, bimbingan, dan kepercayaan agar yang dipimpin (baca: murid/mahasiswa) tumbuh mandiri. Secara keseluruhan, filosofi ini menggambarkan peran kepemimpinan yang fleksibel, adaptif, dan mendidik dimana sangat relevan dalam membangun generasi yang berdaya saing serta berkontribusi dalam pembangunan ekonomi berbasis kerakyatan.
Mengaktualisasikan Filosofi Pendidikan dalam Pembangunan Ekonomi Kerakyatan.
Makna mendalam dari filosofi Ki Hadjar Dewantara tersebut dapat menjadi landasan penting dalam memaknai HARDIKNAS di era pembangunan ekonomi kerakyatan yang berkelanjutan. Ketiga prinsip tersebut tidak hanya relevan dalam dunia pendidikan formal, tetapi juga dalam proses pemberdayaan masyarakat untuk menciptakan sistem ekonomi yang adil, inklusif, dan berbasis pada potensi lokal.
Dalam konteks pembangunan ekonomi kerakyatan, prinsip “Ing Ngarso Sung Tulodo” mengajak para pemimpin, pendidik, dan tokoh masyarakat untuk menjadi teladan dalam membangun etos kerja, integritas, dan semangat kewirausahaan di kalangan rakyat. Keteladanan dalam hal ini bukan hanya soal moral, tetapi juga dalam inovasi dan keberanian mengembangkan ekonomi berbasis komunitas yang terdidik.
Prinsip “Ing Madya Mangun Karsa” mendorong adanya keterlibatan aktif antara pemerintah, pendidik, dan masyarakat dalam merumuskan arah pembangunan ekonomi yang partisipatif. Pendidikan harus mampu hadir di tengah masyarakat sebagai motor penggerak perubahan membangkitkan kesadaran, membina kemitraan, dan menguatkan kehendak kolektif untuk mandiri secara ekonomi.
Prinsip “Tut Wuri Handayani” menjadi pengingat bahwa dalam proses pemberdayaan, rakyat harus diberi ruang untuk berkembang dan mandiri, namun tetap dengan pendampingan yang memberi inspirasi, mendorong insiatif, inovasi dan partsipatif, bukan top down. Pemerintah dan dunia pendidikan dapat berperan strategis dalam menyediakan akses, peluang, serta dukungan kebijakan yang memungkinkan masyarakat, terutama sektor informal dan pedesaan untuk tumbuh dalam ekosistem ekonomi yang sehat dan kondusif.
Dengan demikian, memaknai HARDIKNAS tidak hanya soal mengenang jasa Ki Hajar Dewantara, tetapi juga tentang menghidupkan kembali semangat pendidikan yang berbasis kesetaraan dan berkeadilan sehingga mampu membangun keberdayaan masyarakat terdidik. Pendidikan harus berpihak pada rakyat, menyatu dengan gerakan ekonomi kerakyatan, dan menjadi fondasi kuat bagi terciptanya keadilan sosial dan kesejahteraan bersama.
*) Dr. Fauzan Muttaqien, S.E., M.M, Dosen Pasca Sarjana ITB Widya Gama Lumajang
Leave A Comment