Pemerintah menetapkan tanggal 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasional yang dikenal dengan Hardiknas. Tahun ini bertemakan “Partisipasi Semesta Wujudkan Pendidikan Bermutu untuk Semua”. Bagaimana pendapat para civitas akademika Institut Teknologi dan Bisnis Widya Gama Lumajang tentang pendidikan ?
————
‘’Sebagai perempuan yang sedang menempuh pendidikan, saya memandang bahwa perempuan yang menyandang status sebagai mahasiswa turut membangun semangat tidak hanya bagi dirinya sendiri, tetapi juga untuk keluarga dan orang sekitar sebagai tumpuan harapan masa depan. Setiap ilmu yang saya dapatkan di bangku kuliah adalah bekal untuk mengubah kehidupan menjadi lebih baik, membuka peluang, dan membawa harapan baru bagi orang-orang yang saya cintai.
Tut Wuri Handayani (Di belakang memberi dorongan): sebagai seorang ibu, pendidikan bukan hanya penting, tetapi esensial. Seorang ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya. Nilai-nilai, kebiasaan, dan ilmu pertama kali ditanamkan dari rumah. Peran ini menjadikan pendidikan sebagai tanggung jawab moral dan emosional yang tak ternilai.
Pada akhirnya bahwa pendidikan memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan. Pendidikan bukan hanya tentang memperoleh ilmu, tetapi juga tentang menanamkan nilai-nilai etika, integritas, dan dedikasi yang dapat membentuk karakter individu. Pendidikan adalah jalan yang menghubungkan masa depan yang lebih baik, dan sebagai bagian dari masyarakat, kita semua memiliki peran penting dalam mewujudkannya. Selamat Hari Pendidikan Nasional 2025. “Partisipasi Semesta Wujudkan Pendidikan Bermutu untuk Semua” (Hilda Mega Syahputri. Tenaga Kependidikan di ITB WIGA Lumajang, Mahasiswa Pascasarjana MM Univ. Jember, Ibu dari buah hati Jiva Bhumi Maishadipta).
—-
Di era digital ini, pendidikan tak lagi hanya soal bangku sekolah atau kurikulum nasional, melainkan soal ketahanan berpikir kritis di tengah banjir informasi. Ironisnya, semakin banyak teknologi yang kita adopsi, semakin gamang pula arah pendidikan kita. Gadget masuk ke ruang kelas, tetapi tak selalu membawa pengetahuan. Video pembelajaran menjamur, tetapi tak selalu menumbuhkan daya nalar. Hari Pendidikan Nasional mestinya menjadi momentum reflektif, bukan hanya seremonial, untuk bertanya: Apakah sistem kita melahirkan manusia merdeka atau sekadar pengikut algoritma?
Yang genting dari peringatan tahun ini adalah kenyataan bahwa anak-anak Indonesia sedang tumbuh dalam dua dunia: satu di kelas, satu lagi di layar. Jika dunia nyata memberi nilai atas ujian tertulis, dunia digital memberikan validasi lewat jumlah like dan followers. Maka tugas besar kita adalah menjembatani dua dunia itu bukan dengan meniadakan salah satunya, tapi dengan menciptakan pendidikan yang membuat keduanya saling menguatkan.
Pendidikan harus menjadi ruang pembebasan, harus mencetak manusia yang utuh yang tak hanya bisa menjawab soal, tetapi juga bisa mengajukan pertanyaan yang menggugah. Pendidikan yang bukan sekadar menghasilkan tenaga kerja, tetapi tenaga berpikir. (Ayu Nareswari, S.E.,M.M, Dosen Institut Teknologi dan Bisnis Widya Gama Lumajang dan sedang menempuh pendidikan Doktoral)
—-
Dunia Pendidikan dihadapkan pada beberapa tantangan seperti kebijakan-kebijakan pemerintah, transformasi digital dan tantangan sosial ekonomi. Dalam hal ini menghadapi tantangan pada tahun 2025 tidak bisa di anggap remeh terlebih lagi telah muncul fenomena Dimana kebijakan pemerintah bertentangan dengan pendapat Masyarakat Indonesia mengenai program makan bergizi gratis, kebijakan seperti ini memang bermanfaat bagi siswa namun juga membuka peluang bagi orang-orang yang tidak bertanggungjawab di sisi lain transformasi digital menjadi bagian integral dalam Pendidikan saat ini seperti pemanfaatan kecerdasan buatan (AI) tentu hal ini menjadi sangat positif bagi perkembangan Pendidikan di Indonesia namun terdapat kesenjangan dalam transformasi digital seperti contoh tidak semua sekolah di seluruh penjuru negeri dapat menyesuaikan dikarenakan tidak semua pelajar memiliki akses ke perangkat dan koneksi internet seperti yang terjadi pada pelosok-pelosok daerah.
Lantas Pendidikan yang berkembang pesat tidak dirasakan oleh semua Masyarakat Indonesia, ini membutuhkan peran penting bagi negeri ini yang bisa memberikan Pendidikan yang setara kepada semua penerus bangsa. Pemimpin mempunyai Impian untuk bangsa ini namun jangan sampai lupa mimpi tersebut tidak ditemukan dikasur yang empuk dan tidak juga ditemukan pada pena – pena tinta emas tetapi mimpi tersebut ditemukan pada komitmen pemimpin negeri ini untuk memberikan Pendidikan yang setara. (Abdur Ro’uf, SE.MKom, Dosen Institut Teknologi dan Bisnis Widya Gama Lumajang)
—–
Ketika kita membicarakan kemajuan pendidikan Indonesia, gampang sekali kita terjebak dalam optimisme data seperti peningkatan partisipasi sekolah, kenaikan nilai asesmen sampai suskesnya digitalisasi ruang belajar. Namun dibalik data yang membanggakan itu, masih terdapat realita sunyi dari daerah 3T (tertinggal, terdepan dan terluar) yang hampir terlewat dari perhatian publik. Di tempat inilah, anak-anak masih berjuang dengan kondisi yang tidak sebanding dengan semangat mereka untuk belajar.
Kesejangan akses pendidikan antara wilayah maju dan daerah 3T (tertinggal, terdepan dan terluar) adalah bentuk ketidakadilan stuktural yang terus berlangsung. Sarana dan prasarana yang tidak memadai, distribusi guru yang timpang, hingga rendahnya dukungan teknologi menjadi tembok yang membatasi anak-anak 3T (tertinggal, terdepan dan terluar) dalam mengakses hak dasar mereka sebegai warga negara yaitu hak untuk belajar.
Kita tidak sedang berbicara tentang kekurangan alat, melainkan minimnya kehadiran negara secara nyata. Ketiadaan guru yang menetap, ketidakterjangkauan sekolah, serta tidak meratanya pelatihan tenaga pendidik membuat siswa di daerah 3T (tertinggal, terdepan dan terluar) bukan hanya tertinggal secara akademik, tetapi terpinggirkan dalam sistem yang seharusnya menyetarakan. Suara mereka nyaris tidak terdengar dalam proses perumusan kebijakan yang sering hanya berbasis data makro dan laporan formal.
Sudah waktunya kita meninjau ulang paradigma pemerataan pendidikan. Pemerataan bukan berarti menyamaratakan, tetapi mengakui perbedaan dan menjawabnya dengan kebijakan yang sesuai dengan konteks lokal. Pemerintah pusat harus membuka dialog komunitas pendidikan lokal di wilayah 3T (tertinggal, terdepan dan terluar) serta lembaga pendidikan tinggi dan para akademisi perlu lebih terlibat dalam riset lapangan dan pengabdian nyata, bukan sekedar publikasi ilmiah.
Di negeri yang menjungjung tinggi Bhinneka Tunggal Ika, tidak seharunya anak banga yang merasa asing di tanah kelahirannya sendiri karena akses pendidkan yang tidak kunjung setara. Pendidikan bukan sekedar alat mobilitas sosial, tetapi fondasi keadilan yang menentukan arah masa depan bangsa. Jika kita benar-benar ingin mewujukan Indonesia Emas 2045, maka tidak ada pilihan lain selain menjadikan jeritan dari ujung negeri sebagai panggilan utama pembangunan pendidikan, karena kemajuan sejati tidak tercermin dari canggihnya teknologi di kota, melainkan senyum percaya diri siswa di pelosok yang tahu bahwa mereka tidak dilupakan.
(Ikhwanul Hakim, SE. MM, Dosen Institut Teknologi dan Bisnis Widya Gama Lumajang dan sedang menempuh pendidikan Doktoral)
Leave A Comment