STIE Widya Gama Lumajang melakukan Explorasi budaya adat Osing khas Banyuwangi, tepatnya sebelah barat Kota Banyuwangi berada di Desa Papring, Kecamatan Kalipuro. Riset atau Penelitian Hibah Terapan Tahun 2020 ini dilaksanakan pada hari Jum’at 3 Juli 2020. Riset ini dilakukan oleh  Dr Ratna Wijayanti Dariar Paramita, S.E., M.M. dan Noviansyah Rizal, S.E., M.M., Ak., CA, serta Muchamad Taufiq, SH., MH.

“Tempat inilah yang akan menjadi tempat riset kami ber 3 dalam Penelitian Hibah Terapan Tahun 2020 STIE Widya Gama Lumajang yang didanai oleh RISTEKDIKTI dengan latar belakang yang sangat tepat sasaran untuk kami lakukan penelitian. Riset ini merupakan riset yang berkelanjutan dan saat ini memasuki tahun ke 4, namun tahun 1-3 riset kami masih terbatas pada pembuatan draft model, dan model sebelumnnya tidak sampai pada tahap implementasi seperti saat ini. Implementasi model ini hanya akan dilaksanakan pada tahun ini dan berakhir pada akhir tahun 2020. Sasaran kegiatan ada 3 mitra pelaku budaya: 1. Sanggar Gandrung “Sopo Ngiro” dengan pemiliknya yaitu Ibu Temuk, 2. Sanggar seni mas Samsul, 3. Pelaku permainan anak  tradisional Kampoeng Batara yang didirikan oleh mas Widie Nurmahmudy”.Ungkapnya Dr Ratna Wijayanti Daniar Paramita, S.E., M.M.

“Menghadirkan Gandrung Ibu Temuk dengan sanggar Sopo Ngiro, sanggar  mas Samsul, dan pelaku permainan Kampoeng Batara yang didirikan oleh mas Widie Nurmahmudy, merupakan bagian dari implementasi model CSR budaya yg merupakan luaran dari penelitian hibah terapan. Sanggar-sanggar ini sebagai mitra artinya sanggar-sanggar ini sebagai sanggar atau pelaku budaya yang eksis dan akan terus eksis dalam upaya pelestarian budaya adat Osing. Dimana letak CSR nya?.  CRS budaya tidak selalu diwujudkan dalam bentuk support dana tunai namun lebih pada memberikan kesempatan kepada sanggar-sanggar untuk berkesenian, melakukan latihan atau pementasan di tempat-tempat tertentu.

“Awalnya saya berharap bisa dilaksanakan di Waroeng Kemarang yang juga sebagai mitra dalam riset ini, namun karena keterbatan waktu untuk berkoordinasi, apalagi riset ini dilakukan dimasa pandemi Virus Covid-19 yang mewajibkan seluruh masyarakat tidak boleh bergerombol dengan tujuan menghindari penyebaran Virus Corona tersebut,  maka kesiapan Kampoeng Batara menerima kami menjadi solusi tempat yang terbaik dengan mewajibkan anjuran pemerintah menggunakan protokol kesehatan yang sudah ditentukan”. Imbuhnya.

Sekolah anak-anak Desa dengan pendidikan membaur pada alam semesta di sebuah kampung bernama Kampoeng Baca Tama Rimba (Batara). Kampoeng edukatif tanpa fasilitas mewah sebagai alat belajar dengan harta paling berharga untuk mendidik anak-anak di Kampoeng Batara berupa permainan tradisional seperti  bermain musik angklung  dan tarian khas Osing Banyuwangi, bermain egrang, engklek, bendan, kincir angin, dan layang-layang.

Bambu sebagai dinding dan atap adalah tempat menimba ilmu, pepohonan rindang memberikan kesejukan yang menjadi saksi mereka bermain sambil belajar dengan sangat riang. Anak-anak Kampoeng Batara juga diwajibkan membaca, belajar bahasa (tradisional, Indonesia, Inggris). Memahami pancasila, lagu-lagu Nasional dan tradisional daerah adalah hal yang diwajibkan di Kampoeng Batara.

Widie Nurmahmudy, pendiri Kampoeng Batara juga sebagai orang tua, guru, kakak, dan sahabat bermain dan belajar anak-anak Kampoeng Batara. Mas Widie menyambut kedatangan Dr Ratna Wijayanti Dariar Paramita, S.E., M.M. dan Noviansyah Rizal, S.E., M.M., Ak., CA, serta Muchamad Taufiq, SH., MH, obrolan singkat pun dimulai.

Ujarnya “Tidak terasa dari tahun 2014 – 2019 terhitung 7 tahun saya mendirikan tempat bermain dan belajar ini tujuanya untuk membantu anak-anak kampung sini yang putus sekolah di pendidikan formal, saya pun juga tidak membatasi bagi anak-anak yang sudah sekolah di pendidikan formal untuk ikut belajar dan bermain. Kebanyakan pendidikan formal untuk nilai praktek dan materi kurang seimbang, lebih banyak materinya dengan prakteknya. Kampung Batara murni biaya mandiri, ibu-ibu pun ikut terlibat”.

Pandemi Covid – 19 semenjak masuk di negara Indonesia sangat mempengaruhi para pelaku budaya yang berada di Negara Indonesia, khusunya di pulau Jawa sebalah timur yang berdampak juga di Kota Banyuwangi. Ibu Temuk salah satunya yang juga menyambut kedatangan Tim Penelitian Hibah Terapan.

Ibu Temuk yang merupakan sinden juga penari Gandrung adalah maestro seni di Kota Banyuwangi pemilik sanggar “Sopo Ngiro” bertempat di  Desa Kemiren. Beliau juga merasakan dampak dari pandemi mewabahnya Virus Corona atau Covid – 19. Nama akrab panggilannya yaitu “Mak Temuk atau Mak Muk”.

“Sebelum virus mewabah, setiap minggunya saya diundang (tanggapan) untuk menari Gandrung, tetapi sekarang orang-orang yang mempunyai hajatan sementara ini selama virus belum reda, tidak diperbolehkan lagi mengadakan hajatan, otomatis perekonomian saya menurun”. Ungkapnya

Sama halnya dengan apa yang dirasakan sanggar seni mas Samsul yang sudah didirikanya ± 1 tahun silam. Awal berdirinya sanggar seni mas samsul hanya tekat yang kuat dari kelompok pemuda lingkungan sekitar. Peralatan musik gamelan khas Banyuwangipun didapat dari gamelan yang sudah lama tidak terpakai, papan gamelan atau dengan istilah “rancak” sudah kropos dan cat memudar.

“Hati saya terketuk ketika melihat tekat dan semangat para pemuda dilingkungan kampung sekitar saya untuk latihan musik gamelan Banyuwangi dengan alat yang sudah tidak layak pakai. Saya ajak kumpul mereka dengan kemampuan saya yang terbatas. Tidak muluk-muluk tetapi pasti dan pada akhirnya perjuangan kami bersama dengan pemuda lingkungan sini terjawab, yaitu mempunyai seperangkat alat musik gamelan Banyuwangi yang layak untuk dimainkan”. Ujarnya mas Samsul

“Namun belum lama mereka berlatih, ada kendala yang mengharuskan mereka fakum beberapa bulan, yaitu memawabahnya Virus Covid 19. Pemerintah pada akhirnya mengeluarkan kebijakan New Normal yang artinya boleh berkegiatan dengan persyaratan daerah tersebut sudah mereda dari mewabahnya Virus Corona. Mereka berkegiatan lagi dengan anjuran protokol kesehatan”. Imbuhnya mas Samsul.

Sampai saat ini pun sanggar seni Mak Muk dan sanggar seni mas Samsul masih belum bisa tampil pada acara-acara besar, tetapi beliau tidak putus asa dengan mewabanhya Covid – 19 tersebut, malah Mak Temuk dan mas Samsul bekerja sama dengan Mas Widie akan membuat kolaborasi musik gamelan, tarian, dan permainan anak-anak Kampoeng Batara yang nantinya akan di unggah di Youtube.

Mak Temuk selaku maestro sinden dan penari Gandrung mengajarkan tari gandrung kepada anak-anak di Kampoeng Batara.

“Saya sudah kenal lama dengan Widie, dari pada saya memikirkan kapan hilangnya pandemi ini, mending saya memberikan ilmu berupa mengajar tari Ganrung kepada anak-anak saya yang belajar di Kampoeng Batara supaya mereka nantinya bisa mengharumkan nama daerahnya sendiri, apa lagi sekarang masih masa pandemi juga berdampak kepada anak-anak Kampung Batara, yang penting saya tetap menggunkanan protokol kesehatan”. Ungkapnya Mak Temuk.

Bunyi suara angklung, kendang, gong, biola, kecrek, ketug mengiringi para penari bocah. Kepolosan wajah, tingkah laku mereka, sikap dan sifat mereka difilosofikan dalam sebuah tarian yang mengagumkan. Kelucuan dan keceriaan, mereka berikan begitu saja. Gerakannya juga indah tampak menyatu dengan pesona alam yang berada dilingkungan sekitar. Permainan ”Ono Tokek” dilanjutkan dengan “Umbul-Umbul Belambyangan” tembang dan tarian dari Mak Temuk menghiasi alunan musik Osing dengan judul “Podo Nonton”, dan ditutup dengan tarian anak-anak Kampoeng Batara dengan lagu “Padang Bulan dan Sumebyar” yaitu lagu asli Banyuwangi.

“Salah seorang penari dari sanggar mas Samsul yang bergabung pada saat itu menyampaikan keinginan kelak dapat menari dan memperkenalkan gandrung di Luar Negeri. Bukankah itu cita-cita yang luar biasa?, maka semoga sanggar-sanggar budaya akan senantiasa dapat memainkan perannya meski dengan segala keterbatasan dana dengan bantuan CSR budaya dari perusahaan-perusahaan atau siapapun yg peduli terhadap seni”. Ungkapnya Dr Ratna Wijayanti Daniar Paramita, S.E., M.M.

“Inilah alasan mendasar kami ber 3 kenapa melakukan penelitian Hibah Terapan Tahun 2020 STIE Widya Gama Lumajang yang didanai oleh RISTEKDIKTI di lakukan di Kampoeng Batara dan bekerja sama dengan 3 sanggar, karena tempat inilah merupakan salah satu yang melahirkan anak-anak bangsa yang hebat, senang dan cinta dengan adat serta budayanya sendiri, belajar membuka masa depanya sendiri”. Paparnya Dr Ratna Wijayanti Daniar Paramita, S.E., M.M. “ Saya yakin dengan semangatnya Mas Widie dan Ibu Temuk dan mas Samsul, mereka akan berkembang pesat menjadi anak-anak pengharum nama Negara Indonesia nantinya”, Imbuhnya Noviansyah Rizal, S.E., M.M., Ak., CA, dan Muchamad Taufiq, SH., MH memungkasi.

Harapan peneliti adalah model implementasi yang dikembangkan dalam penelitian ini dapat menjadi model yang nantinya dapat diterapkan pada sanggar-sanggar pelaku budaya non komersial, sehingga keberadaan sanggar kesenian dapat terus eksis dan pelaku budaya yang terdiri dari anak-anak dan remaja sebagai generasi yang melestarikan budaya memiliki kesempatan untuk mengembangkan bakatnya.